Itulah sepotong kalimat yang dilontarkan seorang guru fiqh kepada anak didiknya di depan kelas beberapa tahun yang lalu.
Sebagai orang Sunda yang suka memelihara ayam, kata kacingcalang sudah tidak asing lagi bagi saya. Sederhananya, kacingcalang adalah ungkapan untuk menjelaskan keadaan telur yang sudah menjadi jabang ayam, tetapi tidak berhasil menetas.
Seperti halnya yang dimaksud guru saya, beliau berpesan kepada kami untuk tidak menjadi lulusan yang kacingcalang; sudah lulus, tapi tidak jadi/tidak bisa apa-apa. Beliau juga melanjutkan kalimatnya dengan:
"Jangan sampai jadi lulusan agama, tapi tidak ngerti nahwu sharaf. Lulusan agama, tapi tidak bisa hitung waris."
Kira-kira demikianlah nasehat beliau yang masih saya ingat sampai sekarang. Hingga akhirnya di perkuliahan yang sudah menginjak tahun ketiga, tiba-tiba saja saya teringat ucapan bapak pengajar fiqh saat saya masih duduk di kelas 11 itu.
Hari Rabu ini, tanggal 8 Maret 2023, saya dan teman-teman kuliah sejurusan Sastra Arab berpartisipasi dalam kuliah umum yang diisi oleh pembicara dari Arab Saudi. Tidak sesuai ekspektasi kami, ternyata sang narasumber tidak hadir di aula yang besar itu. Dosen dari Universitas King Abdul Aziz itu mengisi perkuliahan secara daring melalui Zoom Meeting yang ditampilkan dengan proyektor.
Sepanjang perkuliahan, rasanya saya hanya mendengar untaian kalimat yang dilontarkan dengan cepat tanpa mampu menangkap maksudnya. Penguasaan kosakata Arab saya yang masih minim belum cukup membantu saya memahami penjelasan beliau.
"Ca, ngerti gak?"
"Ca, itu lagi ngomongin apa?"
"Ini lagi ngetawain apa ya?"
Beberapa pertanyaan dari teman-teman itu saya respon dengan satu jawaban yang sama:
"Gak tau aku juga."
Presentasi beliau yang berlangsung selama setengah jam ini membuat saya tersadar akan kemampuan berbahasa Arab saya yang masih jauh di bawah standar. Momen ini juga yang membuat saya teringat kembali pada nasehat guru saya saat di madrasah aliyah.
Kalau di semester 6 saja saya belum mampu memahami perkataan native speaker Arab, tidak menutup kemungkinan kalau saya nanti lulus sebagai sarjana yang kacingcalang.
Belum berhenti sampai di situ. Saat perkuliahan berakhir, salah satu dosen saya mengumumkan info perlombaan yang harus diikuti oleh perwakilan setiap angkatan. Beliau menyebutkan beberapa lomba, seperti musabaqah tilawatil qur'an (lomba membaca Al-Qur'an), musabaqah hifzhil qur'an (lomba menghafal Al-Qur'an), fahmil qur'an (cerdas cermat tentang Al-Qur'an), karya tulis ilmiah, khattil qur'an (kaligrafi), dsb.
Dari sekian banyak cabang kompetisi, tidak ada satu pun yang rasanya saya mampu untuk ikuti. Hingga saat ini, saya bahkan tidak punya satu keahlian yang menonjol dalam diri saya. Sedangkan untuk berpartisipasi dalam lomba, yang menang dan diterima hanyalah orang-orang yang memiliki kepiawaian, bukan yang punya kemampuan pas-pasan.
Ikut lomba gak mampu, ngomong Arab masih gagu, ide skripsi masih buntu, entahlah bagaimana nasib saya nanti saat lulus dari kampus.
Namun, sepahit-pahitnya kenyataan yang saya rasakan, saya tidak akan berhenti di tengah jalan. Mungkin mahasiswa lain sudah berhasil mendekati garis finish-nya, atau bahkan mereka sudah sampai di sana. Walaupun saya masih tertinggal jauh dari mereka, saya tidak akan berhenti berjalan. Seperti yang ditulis oleh Yasushi Akimoto:
"Hidup bagaikan pesawat kertas, terbang dan pergi membawa impian. Sekuat tenaga dengan hembusan angin, terus melaju terbang.
Jangan bandingkan jarak terbangnya, tapi bagaimana dan apa yang dilalui."
- Pesawat Kertas 365 Hari -
Apa dan bagaimana rintangan yang dilalui setiap orang pastinya berbeda-beda. Mungkin inilah rintangan saya saat ini sebagai mahasiswa: berlatih bahasa Arab lebih giat lagi dan jangan menyia-nyiakan kesempatan belajar di bangku kuliah.